Lelaki tua itu tersenyum samar. Dipandangnya perempuan seusia dengannya yang duduk tepat dihadapannya dengan tatap takjub.
“Kamu tak banyak berubah, walau umur telah menggerogoti tubuh kita. Kamu masih mempesona seperti saat kita pertama bertemu dulu,” kata lelaki itu lirih.
Perempuan didepannya tertawa renyah.
“Ngawur kamu, mas! Ubanku sudah rimbun begini dikepala dan sebagian gigiku sudah diganti dengan gigi palsu, kamu bilang masih “kinclong” saat kita masih SMP dulu? Wake up old man!,” sergah perempuan itu seraya melontarkan canda
“Auramu itu, old lady, membuatku selalu jatuh rindu. Rembulan yang kau simpan dimatamu masih saja ada disana, tak akan pernah pudar digerogoti waktu. Purnama abadi yang sayang sekali, tak pernah sempat aku miliki, bahkan hingga kini,” Ujar lelaki itu dengan nada getir sembari menyeruput kopi cappuccino kegemarannya.
Batinnya mendadak perih.
Perempuan itu tertunduk. Dadanya terasa disesaki keharuan yang dalam.
Dan angan keduanya melayang jauh, disuatu waktu. saat mereka masih terlalu muda untuk menyadari arti cinta. Dan “rindu” menjadi kata paling hebat yang mewakili perasaan mereka saat itu
Lelaki tua itupun bertutur:
Makassar, 1983, di sebuah SMP,
Aku, lelaki kecil berbadan ceking, tak akan pernah lupa bagaimana pertama kali memendam kangen pada sosok perempuan muda berparas ranum dengan bibir yang selalu tersenyum. Perempuan itu, yang tak lain adalah kamu itu, kerap kali melotot tajam padaku ketika memergoki memandang diam-diam dari jauh dengan rasa takjub.
Aku masih ingat hingga kini, bagaimana caranya memainkan cincin di jari manis dengan ibu jari, memutar-mutarnya searah jarum jam sembari matamu tanpa berkedip memandang penjelasan bapak/ibu guru kita didepan kelas. Aku kerap menganggap setiap satu putaran cincinmu adalah sebuah tanda bahwa ulasan pelajaran dari bapak/ibu guru kita baru saja merasuki benakmu, meresapinya dalam hati. Membuatmu mengerti.
Aku sebenarnya punya keinginan untuk menjelaskan lebih rinci tentang suasana yang tengah bergejolak disanubari saat itu : merindukanmu. Lalu kubayangkan setiap kali ulasanku itu aku lontarkan, kamu akan memandangku tak berkedip, memutar cincinmu perlahan sebagai tanda, kamu mengerti, kamu sadar, ada aku, seorang lelaki kecil dan lugu yang sedang memendam rasa kangen tak terlerai terhadapmu.
Sayang aku tak memiliki keberanian yang cukup besar melakukan itu. Dan suatu ketika saat dengan jantung berdebar aku mengumpulkan nyaliku satu-satu untuk meminjam bukumu, sebuah harapan—disaat yang sama— terbit didada. Kamu hanya tersenyum kecil saat menyodorkan bukumu padaku. “Cepat kembalikan ya?”, kilat bintang kejora terlihat berpijar dari matamu.
Aku mengangguk pelan dan berkata , “Pasti. Terimakasih ya”. Lalu kamu berbalik pergi, meninggalkanku termangu menyaksikan sosokmu berlalu menuju rekan-rekan perempuan di kelas kita.
Andaikan kamu tahu, sejak itu, setiap mandi aku selalu membasuh lama-lama tubuh kecilku dengan sabun mandi Lifebuoy, agar wanginya menyebar kemana-mana. Secara sembunyi-sembunyi aku memakai minyak rambut lengket Tancho hijau milik ayah, hanya untuk membuatmu terkesan. Aku masih ingat mimik lucumu ketika menertawai penampilanku. “Sisiranmu itu, mirip Charlie Chaplin!” katamu sembari terkikik geli. Aku hanya tersenyum rikuh.
Dan saat kamu harus pindah sekolah, mengikuti kepindahan orangtuamu jauh ke luar kota kami, hatiku melepuh.
“Mudah-mudahan, kita bisa ketemu lagi ya?” katamu sembari menggigit bibir. Matamu terlihat basah, lalu kamu menyekanya cepat-cepat.
Aku menghela nafas panjang dan mengangguk. Mencoba tabah.
Lalu saat memandang punggungmu menjauh dariku, aku tahu, sepotong hatiku telah terbawa olehmu.
Yogyakarta,sebuah kantin kampus, 1993
Lagi-lagi kamu masih tak berubah.
Tidak hanya kegemaranmu memutar-mutar cincin masih persis yang pernah kamu lakukan 10 tahun silam, pijar mata kejoramu masih menyisakan pesona yang selalu membuatku karam pada daya pukaunya.
Kesempatan berharga menemuimu kembali ketika aku mewakili kontingen kampus dari Makassar menghadiri seminar ilmiah mahasiswa nasional membuatku tak mau membuang kesempatan berharga itu menjumpaimu. Setelah sekian lama tak jumpa.
“Aku sudah tidak sendiri lagi sekarang,” katamu pelan sembari menunduk tersipu.
“Aku hanya ingin menemuimu sebagai sahabat dari masa lalu, tidak menawarkan cinta atau harapan apapun padamu,” sahutku dengan tenggorokan tercekat.
“Aku tahu itu. Tapi matamu tak bisa berdusta padaku,” tukasmu cepat.
Ah, kamu selalu begitu. Spontan. Tanpa basa-basi. Dan angkuh.
“Maaf bila ini telah membuatmu tak nyaman. Sebaiknya saya pergi,” ucapku parau, lalu beranjak dari kursi.
Tiba-tiba tanganmu menangkap lenganku. “Duduklah. Tidak apa-apa. Maafkan, tidak sepantasnya saya berbuat seperti ini padamu yang sudah datang jauh-jauh”.
Aku menghela nafas. Dan duduk kembali.
“Kenapa?”, tanyaku penasaran.
“Karena aku…merindukanmu,” sahutmu pelan, hampir tak terdengar.
Dalam hati, aku terpekik riang.
“Tapi mari kita berbincang sebagai sesama sahabat lama saja. Aku ingin mendengar kabar kawan-kawan kita dulu di Makassar darimu,” katamu cepat mengalihkan perhatian sembari tersenyum. Aku mengangguk dan agak geli melihatmu terlihat salah tingkah.
Dan begitulah, kita bernostalgia bersama. Berbincang tentang banyak hal. Tentang masa lalu, tentang hal-hal indah yang menyertainya. Saat berpisah, aku menyodorkan sebuah surat.
“Bacalah, ini puisi buatanku yang kutulis khusus untukmu, sudah kusiapkan lama dan ingin langsung kuserahkan padamu kalau sewaktu-waktu datang ke Yogya”, kataku tersipu. Kamu mengangguk pelan dan memutar cincin di jari kananmu.
Saat naik becak pulang ke penginapan, dari jauh aku melihat kamu membuka surat yang baru kuserahkan dan membacanya.
Kenangan itu selalu berjalan tertatih dalam benak
meniti sebuah perjalanan panjang tentang sebuah rasa yang tertinggal
pada relung hati dimana sunyi bersemayam bersama rindu
“Kadangkala,” katamu,”pada lirih sajak yang kuterbangkan bersama angin
senantiasa ada harap disana untuk menghampirimu di suatu ketika
sembari bercerita tentang janji, obsesi memiliki juga cinta”
Ah, belahan jiwaku,
Pesonamu selalu memercik pada riuh rendah pundak Malioboro,
denting syahdu gamelan, warna coklat tua gudeg yang nikmat,
gemulai penari keraton, pepohonan rindang di Bulaksumur dan
keramaian pasar Beringharjo.
Kamu ada, bersama segala keindahan yang menyertai
gigil kangen saat angin lembut yang membawa sajakmu
menerpa kalbu, perlahan, saat mengenangmu, saat mengingatmu
Jakarta, akhir tahun 2009
Aku memelototi layar LCD Netbook-ku dengan rasa tak percaya dan gemuruh memantul-mantul hebat di dada.
“Anakku sudah tiga sekarang. Luar Biasa ! Facebook akhirnya telah mempertemukan kita kembali, secara tak terduga. Bagaimana kabarmu?”
Tulisanmu di pesan pribadi facebook-ku menyeret kembali segala kenangan tentangmu ke masa kini. Dan rindupun tertunai. Lewat dunia maya.
Kita lalu berkomunikasi, saling memahami dan menghargai posisi masing-masing yang sudah memiliki keluarga mungil sendiri. Kita menjaga “jarak” itu dalam batas komitmen sebagai sahabat. Tidak lebih.
Sampai kemudian…
Jakarta, 2030, sebuah teras cafe
“Kenangan hanyalah tinggal masa lalu old man, anak-anak kita telah tumbuh besar dan kita makin bertambah tua. Biarlah apa yang pernah ada kita simpan baik-baik di bilik hati masing-masing,” kata perempuan itu tenang.
“Kamu ternyata masih judes seperti dulu ya?”, tukas lelaki itu pura-pura ngambek.
“Oh, harus itu! Apalagi sebentar lagi, kamu akan jadi besan saya!,” sahut perempuan itu tertawa geli.
Lelaki itu juga tertawa lepas. Senja telah tergantikan oleh pekat malam.
Dan kehidupan, masih akan tetap terus berlanjut.