Welcome To Awas Ada Boy Jangan Lupa Difollow Ya Silahkan Menikmati Artikel Dari Blog Kami Yang Ada Disini


Jumat, 07 Januari 2011

ASMARA SUATU KETIKA


Jakarta, 2030, sebuah teras café
Lelaki tua itu tersenyum samar. Dipandangnya perempuan seusia dengannya yang duduk tepat dihadapannya dengan tatap takjub.
“Kamu tak banyak berubah, walau umur telah menggerogoti tubuh kita. Kamu masih mempesona seperti saat kita pertama bertemu dulu,” kata lelaki itu lirih.
Perempuan didepannya tertawa renyah.
“Ngawur kamu, mas! Ubanku sudah rimbun begini dikepala dan sebagian gigiku sudah diganti dengan gigi palsu, kamu bilang masih “kinclong” saat kita masih SMP dulu? Wake up old man!,” sergah perempuan itu seraya melontarkan canda
“Auramu itu, old lady, membuatku selalu jatuh rindu. Rembulan yang kau simpan dimatamu masih saja ada disana, tak akan pernah pudar digerogoti waktu. Purnama abadi yang sayang sekali, tak pernah sempat aku miliki, bahkan hingga kini,” Ujar lelaki itu dengan nada getir sembari menyeruput kopi cappuccino kegemarannya.
Batinnya mendadak perih.
Perempuan itu tertunduk. Dadanya terasa disesaki keharuan yang dalam.
Dan angan keduanya melayang jauh, disuatu waktu. saat mereka masih terlalu muda untuk menyadari arti cinta. Dan “rindu” menjadi kata paling hebat yang mewakili perasaan mereka saat itu
Lelaki tua itupun bertutur:
Makassar, 1983, di sebuah SMP,
Aku, lelaki kecil berbadan ceking, tak akan pernah lupa bagaimana pertama kali memendam kangen pada sosok perempuan muda berparas ranum dengan bibir yang selalu tersenyum. Perempuan itu, yang tak lain adalah kamu itu, kerap kali melotot tajam padaku ketika memergoki memandang diam-diam dari jauh dengan rasa takjub.
Aku masih ingat hingga kini, bagaimana caranya memainkan cincin di jari manis dengan ibu jari, memutar-mutarnya searah jarum jam sembari matamu tanpa berkedip memandang penjelasan bapak/ibu guru kita didepan kelas. Aku kerap menganggap setiap satu putaran cincinmu adalah sebuah tanda bahwa ulasan pelajaran dari bapak/ibu guru kita baru saja merasuki benakmu, meresapinya dalam hati. Membuatmu mengerti.
Aku sebenarnya punya keinginan untuk menjelaskan lebih rinci tentang suasana yang tengah bergejolak disanubari saat itu : merindukanmu. Lalu kubayangkan setiap kali ulasanku itu aku lontarkan, kamu akan memandangku tak berkedip, memutar cincinmu perlahan sebagai tanda, kamu mengerti, kamu sadar, ada aku, seorang lelaki kecil dan lugu yang sedang memendam rasa kangen tak terlerai terhadapmu.
Sayang aku tak memiliki keberanian yang cukup besar melakukan itu. Dan suatu ketika saat dengan jantung berdebar aku mengumpulkan nyaliku satu-satu untuk meminjam bukumu, sebuah harapan—disaat yang sama— terbit didada. Kamu hanya tersenyum kecil saat menyodorkan bukumu padaku. “Cepat kembalikan ya?”, kilat bintang kejora terlihat berpijar dari matamu.
Aku mengangguk pelan dan berkata , “Pasti. Terimakasih ya”. Lalu kamu berbalik pergi, meninggalkanku termangu menyaksikan sosokmu berlalu menuju rekan-rekan perempuan di kelas kita.
Andaikan kamu tahu, sejak itu, setiap mandi aku selalu membasuh lama-lama tubuh kecilku dengan sabun mandi Lifebuoy, agar wanginya menyebar kemana-mana. Secara sembunyi-sembunyi aku memakai minyak rambut lengket Tancho hijau milik ayah, hanya untuk membuatmu terkesan. Aku masih ingat mimik lucumu ketika menertawai penampilanku. “Sisiranmu itu, mirip Charlie Chaplin!” katamu sembari terkikik geli. Aku hanya tersenyum rikuh.
Dan saat kamu harus pindah sekolah, mengikuti kepindahan orangtuamu jauh ke luar kota kami, hatiku melepuh.
“Mudah-mudahan, kita bisa ketemu lagi ya?” katamu sembari menggigit bibir. Matamu terlihat basah, lalu kamu menyekanya cepat-cepat.
Aku menghela nafas panjang dan mengangguk. Mencoba tabah.
Lalu saat memandang punggungmu menjauh dariku, aku tahu, sepotong hatiku telah terbawa olehmu.
Yogyakarta,sebuah kantin kampus, 1993
Lagi-lagi kamu masih tak berubah.
Tidak hanya kegemaranmu memutar-mutar cincin masih persis yang pernah kamu lakukan 10 tahun silam, pijar mata kejoramu masih menyisakan pesona yang selalu membuatku karam pada daya pukaunya.
Kesempatan berharga menemuimu kembali ketika aku mewakili kontingen kampus dari Makassar menghadiri seminar ilmiah mahasiswa nasional membuatku tak mau membuang kesempatan berharga itu menjumpaimu. Setelah sekian lama tak jumpa.
“Aku sudah tidak sendiri lagi sekarang,” katamu pelan sembari menunduk tersipu.
“Aku hanya ingin menemuimu sebagai sahabat dari masa lalu, tidak menawarkan cinta atau harapan apapun padamu,” sahutku dengan tenggorokan tercekat.
“Aku tahu itu. Tapi matamu tak bisa berdusta padaku,” tukasmu cepat.
Ah, kamu selalu begitu. Spontan. Tanpa basa-basi. Dan angkuh.
“Maaf bila ini telah membuatmu tak nyaman. Sebaiknya saya pergi,” ucapku parau, lalu beranjak dari kursi.
Tiba-tiba tanganmu menangkap lenganku. “Duduklah. Tidak apa-apa. Maafkan, tidak sepantasnya saya berbuat seperti ini padamu yang sudah datang jauh-jauh”.
Aku menghela nafas. Dan duduk kembali.
“Kenapa?”, tanyaku penasaran.
“Karena aku…merindukanmu,” sahutmu pelan, hampir tak terdengar.
Dalam hati, aku terpekik riang.
“Tapi mari kita berbincang sebagai sesama sahabat lama saja. Aku ingin mendengar kabar kawan-kawan kita dulu di Makassar darimu,” katamu cepat mengalihkan perhatian sembari tersenyum. Aku mengangguk dan agak geli melihatmu terlihat salah tingkah.
Dan begitulah, kita bernostalgia bersama. Berbincang tentang banyak hal. Tentang masa lalu, tentang hal-hal indah yang menyertainya. Saat berpisah, aku menyodorkan sebuah surat.
“Bacalah, ini puisi buatanku yang kutulis khusus untukmu, sudah kusiapkan lama dan ingin langsung kuserahkan padamu kalau sewaktu-waktu datang ke Yogya”, kataku tersipu. Kamu mengangguk pelan dan memutar cincin di jari kananmu.
Saat naik becak pulang ke penginapan, dari jauh aku melihat kamu membuka surat yang baru kuserahkan dan membacanya.
Kenangan itu selalu berjalan tertatih dalam benak
meniti sebuah perjalanan panjang tentang sebuah rasa yang tertinggal
pada relung hati dimana sunyi bersemayam bersama rindu
“Kadangkala,” katamu,”pada lirih sajak yang kuterbangkan bersama angin
senantiasa ada harap disana untuk menghampirimu di suatu ketika
sembari bercerita tentang janji, obsesi memiliki juga cinta”
Ah, belahan jiwaku,
Pesonamu selalu memercik pada riuh rendah pundak Malioboro,
denting syahdu gamelan, warna coklat tua gudeg yang nikmat,
gemulai penari keraton, pepohonan rindang di Bulaksumur dan
keramaian pasar Beringharjo.
Kamu ada, bersama segala keindahan yang menyertai
gigil kangen saat angin lembut yang membawa sajakmu
menerpa kalbu, perlahan, saat mengenangmu, saat mengingatmu
Jakarta, akhir tahun 2009
Aku memelototi layar LCD Netbook-ku dengan rasa tak percaya dan gemuruh memantul-mantul hebat di dada.
“Anakku sudah tiga sekarang. Luar Biasa ! Facebook akhirnya telah mempertemukan kita kembali, secara tak terduga. Bagaimana kabarmu?”
Tulisanmu di pesan pribadi facebook-ku menyeret kembali segala kenangan tentangmu ke masa kini. Dan rindupun tertunai. Lewat dunia maya.
Kita lalu berkomunikasi,  saling memahami dan menghargai posisi masing-masing yang sudah memiliki keluarga mungil sendiri.  Kita menjaga “jarak” itu dalam batas komitmen sebagai sahabat. Tidak lebih.
Sampai kemudian…
Jakarta, 2030, sebuah teras cafe
“Kenangan hanyalah tinggal masa lalu old man, anak-anak kita telah tumbuh besar dan kita makin bertambah tua. Biarlah apa yang pernah ada kita simpan baik-baik di bilik hati masing-masing,” kata perempuan itu tenang.
“Kamu ternyata masih judes seperti dulu ya?”, tukas lelaki itu pura-pura ngambek.
“Oh, harus itu! Apalagi sebentar lagi, kamu akan jadi besan saya!,” sahut perempuan itu tertawa geli.
Lelaki itu juga tertawa lepas.  Senja telah tergantikan oleh pekat malam.
Dan kehidupan, masih akan tetap terus berlanjut.

Danau cantik dari Bencana

Tak lengkap rasanya jika Anda berkunjung ke Sumatera Utara tidak mampir sejenak ke Danau Toba, danau vulkanik yang merupakan danau terbesar di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Pesona eksotisnya berupa hamparan danau luas laksana lautan dengan pepohonan rindang dan perbukitan yang menawan. Danau ini berukuran 1700 meter persegi dengan kedalaman kurang lebih 450 meter dan terletak 906 meter di atas permukaan laut, di tengah danau terdapat Pulau Samosir yang tak kalah menariknya menjadi objek kunjungan wisata.

Photo credits - Arie Basuki/Tempo

Dalam kunjungannya pada 1996, Pangeran Bernard dari Belanda bahkan menyatakan kekagumannya pada panorama indah danau ini. “Juallah nama saya untuk danau ini. Saya tak dapat melukiskan betapa indahnya Danau Toba,” katanya antusias.

Ada tujuh kabupaten di sekeliling danau, yakni Simalungun, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Dairi, Karo, dan Samosir yang memiliki panorama alam indah dan menjadi lokasi tujuan wisata. Umumnya wisatawan menikmati keelokan Danau Toba dari Parapat di Simalungun dan Tuktuk Siadong di Pulau Samosir.

Diperkirakan Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar 73 ribu-75 ribu tahun lalu dan merupakan letusan super volcano (gunung berapi super) yang paling baru. Bill Rose dan Craig Chesner dari Michigan Technological University memperkirakan bahwa bahan-bahan vulkanik yang dimuntahkan gunung itu sebanyak 2.800 km³, dengan 800 km³ batuan ignimbrit dan 2.000 km³ abu vulkanik yang diperkirakan tertiup angin ke barat selama dua minggu.

Photo credits - Agung Chandra/TempoDebu vulkanik yang ditiup angin telah menyebar ke separuh bumi, dari Cina sampai ke Afrika Selatan. Letusannya terjadi selama satu minggu dan lontaran debunya mencapai 10 km di atas permukaan laut.

Kejadian ini menyebabkan kematian massal dan, pada beberapa spesies, juga diikuti kepunahan. Menurut beberapa bukti DNA, letusan ini juga menyusutkan jumlah manusia sampai sekitar 60% dari jumlah populasi manusia bumi saat itu, yaitu sekitar 60 juta manusia. Letusan itu juga ikut menyebabkan terjadinya zaman es, walaupun para ahli masih memperdebatkannya.

Setelah letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi oleh air dan menjadi yang sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas oleh magma yang belum keluar menyebabkan munculnya Pulau Samosir. Ketika menikmati keindahan danau ini, Anda mungkin tak membayangkan bahwa pesona yang terjadi berasal dari bencana dahsyat letusan gunung berapi yang mendatangkan ketakutan dan kengerian ketika itu.
Perjalanan darat ke Danau Toba, tepatnya ke Parapat, memakan waktu empat sampai lima jam dari Medan. Tersedia bus atau travel yang langsung menuju Parapat. Rutenya melewati Lubuk Pakam, Tebing Tinggi, dan belok ke arah Pematang Siantar. Sepanjang perjalanan, kita disuguhi panorama perkebunan kelapa sawit dan karet.

Apabila menggunakan kereta api, dari Medan pilih rute menuju Pematang Siantar. Dari sini perjalanan dilanjutkan menggunakan bus ke Parapat. Waktu tempuhnya satu jam.

Photo credits - Agung Chandra/Tempo

Untuk tempat menginap dan tinggal lebih lama menikmati keindahan Danau Toba, tersedia banyak hotel dan penginapan. Di Parapat, sedikitnya ada 900 kamar hotel berbagai jenis, mulai dari bintang empat hingga homestay, di Tuktuk juga tak berbeda. Baik di Parapat maupun Tuktuk, wisatawan dapat langsung menikmati danau dari pinggirannya. Tarif hotel di Tuktuk dan Parapat bervariasi, sesuai tipikal turis yang datang. Mulai dari Rp 30 ribu hingga Rp 500 ribu per malam tergantung tipe hotel.

Sebuah perusahaan travel bahkan menawarkan menikmati keindahan Danau Toba dari udara, yakni menggunakan paralayang. Setiap wisatawan diberi kesempatan terbang menggunakan paralayang dari kawasan pegunungan Tongging, Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara. Bagi para wisatawan yang ingin mencoba paralayang akan ditemani seorang instruktur berpengalaman, namun tentunya penentuan bisa terbang atau tidak tergantung pada kondisi cuaca dan angin.

Tidak hanya itu, menikmati keindahan matahari terbit dan terbenam bisa Anda nikmati dari pesisir danau. Dari dataran tinggi Karo di sebelah utara, keelokan danau terlihat memanjang dipandang dari Sikodonkodon. Namun, hanya ada satu resor di sini. Di sisi barat, pemandangan danau dan Pulau Samosir dapat dengan sempurna disaksikan dari Tele. Ada gardu pandang di ketinggian sekitar 1.000 meter dari permukaan laut untuk menikmati senja di Danau Toba.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews