"Ini memang jarang terjadi. Sulitnya adalah kita sampai saat ini belum memiliki obatnya. Jadi yang bisa dilakukan selama ini hanya merawat saja, menjaga tetap hidup dengan ventilator tapi tidak tahu ujungnya kapan sembuh," kata Endang.
Oleh karena itu, Endang mengemukakan Dinas Kesehatan, Puskesmas atau Posyandu perlu melakukan langkah-langkah untuk sosialisasi kepada masyarakat. Meskipun demikian, Endang mengatakan penyakit ini sulit untuk dicegah. "Sulit ya, karena langka. Bila ada gejala langkah terbaik adalah segera membawa ke rumah sakit, puskesmas terdekat," katanya.
Terkait dengan penderita, Azka (di Bogor) dan Shafa, Endang berjanji akan lebih memperhatikan keduanya. Hanya saja mengingat biaya yang sangat besar sementara batas waktu kesembuhan pasien GBS tidak diketahui, Endang mengatakan pemerintah tidak bisa menanggung pembiayaan sendiri.
"Mungkin yang bisa kita bantu biayanya hanya sebagian oleh karena anggaran kita terbatas, tidak mungkin menolong yang ini terus, bagaimana dengan penyakit-penyakit yang lain. Kami benar-benar meminta bantuan dan himbauannya agar para dermawan dan juga wartawan untuk ikut membantu,’" kata Endang.
Seperti diketahui, Muhammad Azka Arriziq (4) dan Shafa Azalia (4,6) positif menderita GBS. Menurut pakar kesehatan, GBS patut diwaspadai karena termasuk penyakit langka. Jika pernah terserang penyakit GBS maka seumur hidup pasien akan hidup dengan GBS. Bisa berujung kematian bila salah penanganan.
Penyakit ini ditemukan sejak tahun 1916 oleh dua orang dokter dari Perancis, bernama Jean-Alexander Barré dan Georges Charles Guillain, namun pasien GBS masih jarang ditemukan di Indonesia bahkan dunia.
Dari rekap medis, dalam setahun pasien GBS hanya 1:40.000 dan sebagian besar kurang mendapatkan informasi apa itu GBS sehingga sering disangka penyakit lemah layu atau cikungunya. Padahal jika terlambat penanganan, pasien GBS dalam hitungan jam sedang dihadapkan pada jurang kematian. (eh)
sumber:www.kosmo.vivanews.com
0 komentar:
Posting Komentar